Bukankah rumah seharusnya membuatku nyaman? Tempat di mana aku bisa membiarkan jiwa ragaku terlelap?
Tidak dengan rumah ini. Aku mencoba mendekapnya erat, tetapi ia selalu beringsut tak mau dijamah (ataukah sebaliknya?).
I never feel like I belong here.
Sekarang, belasan muka yang tak kukenal memenuhi segenap penjuru tempat ini. Beberapa yang kukenal terasa jauh. Dan aku enggan membuat mereka dekat.
Aku menelan ludah. Lidahku berteriak lelah karena tidak berhenti mengecap basa-basi.
“Kok nggak bawa pacarnya?”
“Makin gemuk aja.”
“Sombong ya, nggak pernah keliatan.”
Satu-satunya alasanku ke sini adalah tidak ingin dicap baik dan lupa saudara. Sulit (dan sedih) sekali, untuk jadi orang baik pun harus mendapat persetujuan orang lain.
Aku merasa kesepian di tengah keramaian. Aku ingin pulang. Bawa aku ke tempat di mana diriku bisa menjelma utuh, tidak lagi bersembunyi... and I’m home.
Imlek, 070208
Friday, February 15, 2008
Tuesday, January 22, 2008
Newly Dad
Sebulan lagi gw genap 28. Uban? Nggak ada. Kerut? Nihil. Perut buncit? Hey, don’t go too far, okay. Pokoknya, cukup muda lah untuk ukuran karyawan. Tapi ternyata gw dah masuk golongan bapuk buduk kalo di Gagas, yang usia kebanyakan penghuninya belum nyampe seperempat abad.
Makanya nggak heran kalo anak-anak ayam (baca: anak Gagas) nganggap gw papa. Dan Windy pun dipanggil mama. Tanpa proses demokrasi atau pemberitahuan apa pun, mereka mendaulat kita jadi bonyok mereka. Kejam. Padahal Windy (atau gw) merasa nggak pernah ngelahirin mereka. Apakah mereka muncul dari kehampaan seperti berudu di musim hujan? Entahlah.
Mungkin tugas gw sebagai papa akan lebih mudah kalo anak-anaknya baik dan gampang diatur. Tinggal suruh cuci kaki dan tidur, mereka pun akan terlelap. Namun keinginan dan realitas adalah dua hal yang sangat berbeda.
Yang paling kentara dari anak-anak gw adalah napsu makan mereka. Membabi buta dan membutakan babi (hah?!). Tiap jalan, harus nyari tempat makan. Kalo di mobil, mata mereka sibuk merhatiin jalanan. Bukan liat pemandangan, tapi nyari papan nama restoran. Kalo liat plang ‘Soto Pak Mul’, mereka langsung tereak “Mo soto, mo soto!”. Kalo ada bakso, mereka koor bareng “Makan bakso, makan bakso!”. Untung aja so far kita nggak pernah lewatin tukang sunat :)
Pokoknya, kalo nggak ngajakin makan, siap-siap aja diteror enam dementor ini. “Papa, makan ya.... Papa, makan ya.... Papa, makan ya....”
Gw kembali mengurut dada kalo nganter mereka ke mal. Lebih gampang kali ngangon bebek. Tinggal atur yang paling depan, bebek-bebek di belakangnya pada ngikut deh. Tapi anak-anak gw, ampun dije. Yang satu lari ke toko baju. Lainnya ngesot ke toko jam. Sisanya entah ke mana, hanya mereka dan Tuhan yang tau. Gw harus memicingkan mata yang udah picing ini. Harus mengamati dan mencermati dengan saksama supaya mereka nggak ilang.
Di kantor, kalo gw ngasih unjuk cover ke satu orang aja, yang lain langsung berhenti kerja dan ngerubungi gw. Rasa ingin tau mereka ngalahin mba dan mas infotainment. Dengan suara riuh rendah, mereka ngeluarin komen macam-macam. Mirip suasana pasar ikan. Atau malah warga pasar ikan juga emoh kali disamain kayak mereka hehehe.
Namun selayaknya anak, they color my days. Yah...meski kadang warnanya hitam, kebanyakan sih warna ceria. Antusiasme mereka bikin gw tetap merasa muda. Komen mereka yang seringkali sarkas (turunan mamanya kali) bikin gw tetap membumi. Kalo gw suntuk, tinggal becanda sama mereka, dan semangat gw pun ter-recharged . Kalo gw lagi pengen ketawa, gw gabung sama mereka untuk menghina mamanya (huahahaha).
Jadi, kalo ada yang nanya repot nggak jadi papa dengan anak yang segambrengan gitu?
Gw bakal jawab, “Nggak. I’m a dad and damn proud of it.”
Makanya nggak heran kalo anak-anak ayam (baca: anak Gagas) nganggap gw papa. Dan Windy pun dipanggil mama. Tanpa proses demokrasi atau pemberitahuan apa pun, mereka mendaulat kita jadi bonyok mereka. Kejam. Padahal Windy (atau gw) merasa nggak pernah ngelahirin mereka. Apakah mereka muncul dari kehampaan seperti berudu di musim hujan? Entahlah.
Mungkin tugas gw sebagai papa akan lebih mudah kalo anak-anaknya baik dan gampang diatur. Tinggal suruh cuci kaki dan tidur, mereka pun akan terlelap. Namun keinginan dan realitas adalah dua hal yang sangat berbeda.
Yang paling kentara dari anak-anak gw adalah napsu makan mereka. Membabi buta dan membutakan babi (hah?!). Tiap jalan, harus nyari tempat makan. Kalo di mobil, mata mereka sibuk merhatiin jalanan. Bukan liat pemandangan, tapi nyari papan nama restoran. Kalo liat plang ‘Soto Pak Mul’, mereka langsung tereak “Mo soto, mo soto!”. Kalo ada bakso, mereka koor bareng “Makan bakso, makan bakso!”. Untung aja so far kita nggak pernah lewatin tukang sunat :)
Pokoknya, kalo nggak ngajakin makan, siap-siap aja diteror enam dementor ini. “Papa, makan ya.... Papa, makan ya.... Papa, makan ya....”
Gw kembali mengurut dada kalo nganter mereka ke mal. Lebih gampang kali ngangon bebek. Tinggal atur yang paling depan, bebek-bebek di belakangnya pada ngikut deh. Tapi anak-anak gw, ampun dije. Yang satu lari ke toko baju. Lainnya ngesot ke toko jam. Sisanya entah ke mana, hanya mereka dan Tuhan yang tau. Gw harus memicingkan mata yang udah picing ini. Harus mengamati dan mencermati dengan saksama supaya mereka nggak ilang.
Di kantor, kalo gw ngasih unjuk cover ke satu orang aja, yang lain langsung berhenti kerja dan ngerubungi gw. Rasa ingin tau mereka ngalahin mba dan mas infotainment. Dengan suara riuh rendah, mereka ngeluarin komen macam-macam. Mirip suasana pasar ikan. Atau malah warga pasar ikan juga emoh kali disamain kayak mereka hehehe.
Namun selayaknya anak, they color my days. Yah...meski kadang warnanya hitam, kebanyakan sih warna ceria. Antusiasme mereka bikin gw tetap merasa muda. Komen mereka yang seringkali sarkas (turunan mamanya kali) bikin gw tetap membumi. Kalo gw suntuk, tinggal becanda sama mereka, dan semangat gw pun ter-recharged . Kalo gw lagi pengen ketawa, gw gabung sama mereka untuk menghina mamanya (huahahaha).
Jadi, kalo ada yang nanya repot nggak jadi papa dengan anak yang segambrengan gitu?
Gw bakal jawab, “Nggak. I’m a dad and damn proud of it.”
Thursday, January 17, 2008
Don't judge a brother by its skin = jangan menilai Abang dari kulitnya doang
Bagi kebanyakan orang, hari pertama kerja sangat ditunggu-tunggu. Ada yang excited terus muter-muter ngelilingin meja. Ada yang terharu sampai nangis bombay. Kalo gw? Jangankan hari pertama, H-1 aja udah dapat kesan yang 'memdalam'. Ugh!
November 2003. Gw baru nyelesain S1 desain grafis. Terus om gw langsung nawarin kerja. "Di penerbitan," jawabnya waktu gw tanya bakal kerja di mana. Dan gw nggak butuh waktu lama untuk mengiyakan.
Hari itu gw iseng pengen main ke calon kantor baru. Sekalian ngapalin jalan biar nggak nyasar besoknya. Gerimis turun sejak pagi. Di sepanjang jalan Margonda, sebagian pejalan kaki menyilangkan tangan di depan dada. Mencoba mengusir dingin.
*Harusnya marsupial kayak gw hibernasi neh ujan-ujan gini* gw bermonolog. Gw udah berdiri di sebuah rumah mungil di Pesona Kayangan Depok. *Apa bener ya ini kantornya?* gw bertanya-tanya dalam hati. Gw merogoh kantung belakang celana dan mengeluarkan HP. Gw masuk ke inbox, lalu baca lagi SMS dari om gw. *Alamatnya udah bener. Tapi kok kecil banget ya? Mana sepi lagi.* Gw memberanikan diri untuk melangkah masuk dan mengetok pintu kayu yang terlihat agak kusam. Tok...tok...tok.... Lalu gw menunggu. *Apa gw salah masuk ya?* Tiga menit kemudian terdengar suara langkah kaki. *Oooo, ada orangnya ternyata.* Krieeet, suara pintu dibuka. Gw ngarepin tipe bibi atau mbok yang bakal nyapa gw. Tapi.... Pintu sudah setengah terbuka. Terlihat tangan hitam kurus. *Bukan demit, bukan demit* gw komat-kamit baca doa. Sekarang pintu sudah terbuka lebar. Glek, gw nelan ludah. Dinginnya udara baru terasa sekarang. Yang kurang cuma backsound serem. Kalo di film horor, ini tanda-tanda setan mo nongol.
Yang buka pintu ternyata bukan setan. Dan jauh pula dari potongan bibi-bibi. Tubuh si penerima tamu setali tiga uang dengan lengannya. Kurus dan hitam. Gerakannya pelan, kayaknya sih abis bangun tidur. Perlahan mulutnya terbuka....
"Nyari siapa, Mas?” si penunggu rumah bertanya. Suaranya berat kayak Vin Diesel minum oli. Pasti deh perokok dan caffeine junkie.
"Saya Jeffri, orang baru. Mulai kerjanya besok." Gw mengulurkan tangan.
"Ooooo.... Saya Ucok. Ilustrator," dia membalas jabatan tangan gw.
Gw mo nanya lebih lanjut, tapi fisiknya itu lho yang bikin gw speechless (iiuuuhhhhh... can't believe I said that). Di lengan kanannya (atau kiri ya?) ada tato. Bentuknya bunga atau senapan gitu deh. Tau ah, gw nggak inget. Abis, gambarnya burem banget kayak ditato pake jarum jahit. Sekarang perhatian gw beralih ke dada dan perutnya. Tipis. Saking tipisnya, bisa diterawang kali hihihi. Terus, mata gw beralih ke bagian tubuhnya yang paling eye catching. Rambut. Gondrong tidak terawat. Keriwil di beberapa bagian. Mirip Candil Serieus kebanyakan pake sampo anti ketombe.
Selanjutnya, Ucok (yang ternyata dipanggil Bang sama orang kantor) mempersilakan gw masuk dan melihat-lihat. Terbentang jejeran meja dengan komputer di atasnya. Kertas dan tumpukan buku berserakan. Baju dan handuk bergelayut manja di gagang pintu. Malah, di salah satu ruangan gw nemu sebiji makhluk lagi tidur. Sarungan dan singletan doang. Bagoooss...bener-bener memanjakan mata.
Setelah lima menit yang berasa kayak satu jam polusi visual, gw pamit pulang. Bang Ucok mengantar sampai pintu.
"Mas Jeffri," dia berkata sambil tersenyum manis (manis versi dia kayaknya), "sampai ketemu besok ya...."
"Oh iya, Mas. Yuk." Gw langsung ke mobil tanpa menoleh ke belakang lagi. Di mobil gw bertanya-tanya, kesan pertama kayak gitu, penghuni kantor lainnya kayak gimana ya?
Pertanyaan gw terjawab keesokan harinya. Seperti Bang Ucok, penghuni kantor lainnya cenderung ajaib. Ada mantan dancer. Ada juga yang mirip wayang orang. Untungnya, so far, they're all fun to be with. Termasuk Bang Ucok. Tampang boleh rocker, tapi hati pop melayu :)
Miss U, Bang... in the most macho way....
*****Dedicated to Bang Ucok: "Kapan kita mancing lagi? Abang yang mancing, gw yang makan ikannya huehehe :)"
November 2003. Gw baru nyelesain S1 desain grafis. Terus om gw langsung nawarin kerja. "Di penerbitan," jawabnya waktu gw tanya bakal kerja di mana. Dan gw nggak butuh waktu lama untuk mengiyakan.
Hari itu gw iseng pengen main ke calon kantor baru. Sekalian ngapalin jalan biar nggak nyasar besoknya. Gerimis turun sejak pagi. Di sepanjang jalan Margonda, sebagian pejalan kaki menyilangkan tangan di depan dada. Mencoba mengusir dingin.
*Harusnya marsupial kayak gw hibernasi neh ujan-ujan gini* gw bermonolog. Gw udah berdiri di sebuah rumah mungil di Pesona Kayangan Depok. *Apa bener ya ini kantornya?* gw bertanya-tanya dalam hati. Gw merogoh kantung belakang celana dan mengeluarkan HP. Gw masuk ke inbox, lalu baca lagi SMS dari om gw. *Alamatnya udah bener. Tapi kok kecil banget ya? Mana sepi lagi.* Gw memberanikan diri untuk melangkah masuk dan mengetok pintu kayu yang terlihat agak kusam. Tok...tok...tok.... Lalu gw menunggu. *Apa gw salah masuk ya?* Tiga menit kemudian terdengar suara langkah kaki. *Oooo, ada orangnya ternyata.* Krieeet, suara pintu dibuka. Gw ngarepin tipe bibi atau mbok yang bakal nyapa gw. Tapi.... Pintu sudah setengah terbuka. Terlihat tangan hitam kurus. *Bukan demit, bukan demit* gw komat-kamit baca doa. Sekarang pintu sudah terbuka lebar. Glek, gw nelan ludah. Dinginnya udara baru terasa sekarang. Yang kurang cuma backsound serem. Kalo di film horor, ini tanda-tanda setan mo nongol.
Yang buka pintu ternyata bukan setan. Dan jauh pula dari potongan bibi-bibi. Tubuh si penerima tamu setali tiga uang dengan lengannya. Kurus dan hitam. Gerakannya pelan, kayaknya sih abis bangun tidur. Perlahan mulutnya terbuka....
"Nyari siapa, Mas?” si penunggu rumah bertanya. Suaranya berat kayak Vin Diesel minum oli. Pasti deh perokok dan caffeine junkie.
"Saya Jeffri, orang baru. Mulai kerjanya besok." Gw mengulurkan tangan.
"Ooooo.... Saya Ucok. Ilustrator," dia membalas jabatan tangan gw.
Gw mo nanya lebih lanjut, tapi fisiknya itu lho yang bikin gw speechless (iiuuuhhhhh... can't believe I said that). Di lengan kanannya (atau kiri ya?) ada tato. Bentuknya bunga atau senapan gitu deh. Tau ah, gw nggak inget. Abis, gambarnya burem banget kayak ditato pake jarum jahit. Sekarang perhatian gw beralih ke dada dan perutnya. Tipis. Saking tipisnya, bisa diterawang kali hihihi. Terus, mata gw beralih ke bagian tubuhnya yang paling eye catching. Rambut. Gondrong tidak terawat. Keriwil di beberapa bagian. Mirip Candil Serieus kebanyakan pake sampo anti ketombe.
Selanjutnya, Ucok (yang ternyata dipanggil Bang sama orang kantor) mempersilakan gw masuk dan melihat-lihat. Terbentang jejeran meja dengan komputer di atasnya. Kertas dan tumpukan buku berserakan. Baju dan handuk bergelayut manja di gagang pintu. Malah, di salah satu ruangan gw nemu sebiji makhluk lagi tidur. Sarungan dan singletan doang. Bagoooss...bener-bener memanjakan mata.
Setelah lima menit yang berasa kayak satu jam polusi visual, gw pamit pulang. Bang Ucok mengantar sampai pintu.
"Mas Jeffri," dia berkata sambil tersenyum manis (manis versi dia kayaknya), "sampai ketemu besok ya...."
"Oh iya, Mas. Yuk." Gw langsung ke mobil tanpa menoleh ke belakang lagi. Di mobil gw bertanya-tanya, kesan pertama kayak gitu, penghuni kantor lainnya kayak gimana ya?
Pertanyaan gw terjawab keesokan harinya. Seperti Bang Ucok, penghuni kantor lainnya cenderung ajaib. Ada mantan dancer. Ada juga yang mirip wayang orang. Untungnya, so far, they're all fun to be with. Termasuk Bang Ucok. Tampang boleh rocker, tapi hati pop melayu :)
Miss U, Bang... in the most macho way....
*****Dedicated to Bang Ucok: "Kapan kita mancing lagi? Abang yang mancing, gw yang makan ikannya huehehe :)"
Monday, January 14, 2008
Pengakuan Dosa Kecoa Albino
Guys, pernah nggak lo bikin salah ke orang sampai dia luka batin dan trauma?
Sampai orang itu jadi susah tidur dan makan?
Gue pernah, dan nggak cuma sekali, tapi tiga kali berbuat dosa ke orang yang sama.
Here’s my list of sins:
KANTOR ARTERI PONDOK INDAH, pertengahan 2007
Saat itu Gagas cuma punya tiga karyawan: satu desainer (gue) dan dua editor. Yang satu namanya Denny dan satunya—korban gue—sebut saja Pen-Pen (hint: stick insect).
Abis lunch, seperti biasa gue langsung manteng di toilet. Byar byur.... Wes ewes.... Setelah sepuluh menit bersemedi, gue keluar. Sayup-sayup terdengar suara cewek. Aha, ini pasti Pen-Pen mo pis atau pup, tebak gue. Kok mo buang hajat kedengarannya ceria banget sih? Sakiiittt!
Dasar emang gue charming, niat iseng pun muncul (lha, hubungannya apa???). Gue mindik-mindik, lalu perlahan jongkok di balik tembok. Bersiap untuk ngagetin dia. Gue bernapas pakai teknik perut supaya nggak kedengeran.
Langkah kaki Pen-Pen yang ceking semakin terdengar. Krak..krek...krak...krek... kayak enggrang jalan sendiri. Gue narik napas dalam-dalam. Adrenalin bersirkulasi cepat di pembuluh darah gue. Seluruh otot di tubuh mengejang.
Tuuu.... Waaa.... DDDUUUAAARRRRRR.... Gue meloncat ke depan dengan jurus Harimau Nerkam.
“KECOAK ALBINOOOOOO!!!!” Pen-Pen teriak kaget setengah latah. Abis itu dia nggak bersuara. Mukanya pias. Mulutnya megap-megap. Kayaknya sih shock berat.
Si pelaku kejahatan cuma bisa duduk di lantai sambil megangin perut. Ngakak abis sampai nggak bisa bersuara.
KANTOR CIGANJUR, pertengahan 2007
Selepas Maghrib. Karyawan sudah banyak yang pulang. Gue yang lagi sibuk kerja, tiba-tiba diganggu HIV (Hasrat Ingin Vivis). Gue langsung cabs ke toilet di ruangan Gagas. Nggak ada satu pun anak Gagas. Tumben, kata gue dalam hati. I don’t care lah, mo pis dulu ah.
Selesai menunaikan tugas, gue duduk di kubikel Pen-Pen. Biasanya nih anak suka nyimpan makanan di meja. Siapa tau ada yang bisa dijarah hehehe.
“Jukiiii..., di mana lo?” Tiba-tiba terdengar teriakan Pen-pen. Wah, rejeki nomplok nih. Dapet korban malam-malam gini.
Gue memerosotkan diri dari bangku. Sekarang posisi gue jongkok di kolong meja. Bangku menghalangi punggung dan pantat gue yang bisa dikategorikan tepos. Kemudian terdengar suara langkah kaki Pen-Pen. Dia mengarah ke dalam ruangan.
Gue celingak-celinguk dan cek posisi. Mastiin nggak ada anggota badan gue yang keliatan dari luar.
“Jukiiii....” Pen-Pen sudah di dalam. Setelah ngeliat orang yang dicarinya nggak ada, dia melangkah ke luar.
“Stttt...stttt....” Gue berdesis pelan. Moga-moga dia denger. Jaraknya sih cuma tiga meter dari gue. Ternyata Pen-Pen menoleh untuk mencari sumber suara.
Dengan kecepatan seekor puma berahi dan keanggunan seekor angsa, gue keluar dari tempat persembunyian.
“Baaaaaaaaa....” Gue nongolin kepala gue. Pen-Pen melonjak kaget. Terus dia balik badan ke depan. Gue pikir dia mo ngambil ancang-ancang buat ngacir. Tapi ternyata dia nengok lagi ke belakang. Dan... lompat lagi. Huahahahaha..... Sumpah lucu banget. Ada ya orang dikagetin bisa lompat dua kali. Bener-bener kayak kartun.
Gue bangun dan menghampiri dia. Terus gue tepok-tepok pundaknya yang terasa tegang. Gue, senyum puas. Dia, roh hampir ninggalin badan.
KANTOR CIGANJUR, akhir 2007
Pagi seperti biasa. Bawaannya males kerja. Ritual gue sesampai di kantor adalah langsung ke toilet. Kali ini mo ke toilet di ruang fotografi ah.
Abis pis, gue cuci tangan dan muka. Terus gue ngambil tissue buat ngelap-ngelap. Karena tong sampah tiba-tiba raib, gue pegang bekas tissuenya untuk dibuang di tempat lain. Pas keluar, gue ngedenger cekikikan anak-anak Gagas di ruangan sebelah. Gue ngintip. Yang terlihat pertama adalah muka tirus Pen-Pen yang lagi tergelak di kubikelnya.
Dasar emang bawaan orok yang nggak bisa liat orang senang, gue nyari akal supaya Pen-Pen diam. Ting!, tiba-tiba bohlam gue nyala. Tissue gue buntel erat di tangan. Gue ngambil ancang-ancang pitcher (itu lho, pelempar bola di permainan baseball). Otak gue sibuk mengalkulasi dan menganalisa. Jarak pelempar dan target? Sip. Kecepatan dan sudut lemparan? Pas banget.
Here we go....
Gue tarik tangan ke belakang terus gue ayun ke depan membentuk lingkaran.
BLETAKKK.
Gumpalan tissue basah mengenai dinding di belakang Pen-pen, lalu memantul ke sisi kanannya. Gue beringsut mundur. Batu sudah dilempar. Giliran tangan yang sembunyi.Samar-samar terdengar suara Pen-Pen yang sibuk menginterogasi semua penghuni ruangan. Semenit. Dua menit. Kayaknya sih nggak ada yang ngaku soalnya dia masih nyerocos.
Ini saatnya untuk kabur. Gue dengan lihai keluar ruangan fotografi, terus langsung belok dan jalan cepat ke kubikel gue. Keributan di ruangan Gagas, I don’t wanna know.
Ternyata berita Pen-Pen ditimpuk tissue basah merebak cepat (iya lah, secara tuh anak bawel). Lagi-lagi setan yang dituduh pelakunya. Sekarang lantai atas riuh rendah dengan gosip. Sebagian dengan bijak menganjurkan agar mawas diri. Lainnya mendengar sambil ketakutan. Lalu terungkitlah cerita menyeramkan lainnya yang pernah terjadi di kantor tercinta ini.
Hanya ada satu orang yang terus bekerja. Seakan tidak terpengaruh oleh kehebohan di sekelilingnya. Tapi, bagaimana mungkin mo konsen kerja kalo sambil nahan tawa. Wakakakakak......
Siangnya, gue samperin Pen-Pen. Dia langsung curhat betapa seramnya ruangan Gagas. Betapa dia ingin dipindahin aja ke ruangan lain. Ekspresinya hampir nyaingin Sarah Michelle Gellar di Scream. Badannya mengkeret.
Gue jadi nggak tega. Akhirnya gue berlutut di hadapannya. Terus bilang “Maaf ya, Pen.” Dasar editor yang quick thinking, dia langsung nuduh gue yang nimpuk dia tadi pagi. Gue tersenyum paling maniez, dan ngaku. Pen-Pen memandang gue. Dan dari tatapan matanya, gue tau dia mo maafin.
So, that’s all my confession. Yang masih bergelayut di pikiran gue, sampai kapan Pen-Pen akan mengalami tragedi ini :)
I’m sorry, Sis....
Sampai orang itu jadi susah tidur dan makan?
Gue pernah, dan nggak cuma sekali, tapi tiga kali berbuat dosa ke orang yang sama.
Here’s my list of sins:
KANTOR ARTERI PONDOK INDAH, pertengahan 2007
Saat itu Gagas cuma punya tiga karyawan: satu desainer (gue) dan dua editor. Yang satu namanya Denny dan satunya—korban gue—sebut saja Pen-Pen (hint: stick insect).
Abis lunch, seperti biasa gue langsung manteng di toilet. Byar byur.... Wes ewes.... Setelah sepuluh menit bersemedi, gue keluar. Sayup-sayup terdengar suara cewek. Aha, ini pasti Pen-Pen mo pis atau pup, tebak gue. Kok mo buang hajat kedengarannya ceria banget sih? Sakiiittt!
Dasar emang gue charming, niat iseng pun muncul (lha, hubungannya apa???). Gue mindik-mindik, lalu perlahan jongkok di balik tembok. Bersiap untuk ngagetin dia. Gue bernapas pakai teknik perut supaya nggak kedengeran.
Langkah kaki Pen-Pen yang ceking semakin terdengar. Krak..krek...krak...krek... kayak enggrang jalan sendiri. Gue narik napas dalam-dalam. Adrenalin bersirkulasi cepat di pembuluh darah gue. Seluruh otot di tubuh mengejang.
Tuuu.... Waaa.... DDDUUUAAARRRRRR.... Gue meloncat ke depan dengan jurus Harimau Nerkam.
“KECOAK ALBINOOOOOO!!!!” Pen-Pen teriak kaget setengah latah. Abis itu dia nggak bersuara. Mukanya pias. Mulutnya megap-megap. Kayaknya sih shock berat.
Si pelaku kejahatan cuma bisa duduk di lantai sambil megangin perut. Ngakak abis sampai nggak bisa bersuara.
KANTOR CIGANJUR, pertengahan 2007
Selepas Maghrib. Karyawan sudah banyak yang pulang. Gue yang lagi sibuk kerja, tiba-tiba diganggu HIV (Hasrat Ingin Vivis). Gue langsung cabs ke toilet di ruangan Gagas. Nggak ada satu pun anak Gagas. Tumben, kata gue dalam hati. I don’t care lah, mo pis dulu ah.
Selesai menunaikan tugas, gue duduk di kubikel Pen-Pen. Biasanya nih anak suka nyimpan makanan di meja. Siapa tau ada yang bisa dijarah hehehe.
“Jukiiii..., di mana lo?” Tiba-tiba terdengar teriakan Pen-pen. Wah, rejeki nomplok nih. Dapet korban malam-malam gini.
Gue memerosotkan diri dari bangku. Sekarang posisi gue jongkok di kolong meja. Bangku menghalangi punggung dan pantat gue yang bisa dikategorikan tepos. Kemudian terdengar suara langkah kaki Pen-Pen. Dia mengarah ke dalam ruangan.
Gue celingak-celinguk dan cek posisi. Mastiin nggak ada anggota badan gue yang keliatan dari luar.
“Jukiiii....” Pen-Pen sudah di dalam. Setelah ngeliat orang yang dicarinya nggak ada, dia melangkah ke luar.
“Stttt...stttt....” Gue berdesis pelan. Moga-moga dia denger. Jaraknya sih cuma tiga meter dari gue. Ternyata Pen-Pen menoleh untuk mencari sumber suara.
Dengan kecepatan seekor puma berahi dan keanggunan seekor angsa, gue keluar dari tempat persembunyian.
“Baaaaaaaaa....” Gue nongolin kepala gue. Pen-Pen melonjak kaget. Terus dia balik badan ke depan. Gue pikir dia mo ngambil ancang-ancang buat ngacir. Tapi ternyata dia nengok lagi ke belakang. Dan... lompat lagi. Huahahahaha..... Sumpah lucu banget. Ada ya orang dikagetin bisa lompat dua kali. Bener-bener kayak kartun.
Gue bangun dan menghampiri dia. Terus gue tepok-tepok pundaknya yang terasa tegang. Gue, senyum puas. Dia, roh hampir ninggalin badan.
KANTOR CIGANJUR, akhir 2007
Pagi seperti biasa. Bawaannya males kerja. Ritual gue sesampai di kantor adalah langsung ke toilet. Kali ini mo ke toilet di ruang fotografi ah.
Abis pis, gue cuci tangan dan muka. Terus gue ngambil tissue buat ngelap-ngelap. Karena tong sampah tiba-tiba raib, gue pegang bekas tissuenya untuk dibuang di tempat lain. Pas keluar, gue ngedenger cekikikan anak-anak Gagas di ruangan sebelah. Gue ngintip. Yang terlihat pertama adalah muka tirus Pen-Pen yang lagi tergelak di kubikelnya.
Dasar emang bawaan orok yang nggak bisa liat orang senang, gue nyari akal supaya Pen-Pen diam. Ting!, tiba-tiba bohlam gue nyala. Tissue gue buntel erat di tangan. Gue ngambil ancang-ancang pitcher (itu lho, pelempar bola di permainan baseball). Otak gue sibuk mengalkulasi dan menganalisa. Jarak pelempar dan target? Sip. Kecepatan dan sudut lemparan? Pas banget.
Here we go....
Gue tarik tangan ke belakang terus gue ayun ke depan membentuk lingkaran.
BLETAKKK.
Gumpalan tissue basah mengenai dinding di belakang Pen-pen, lalu memantul ke sisi kanannya. Gue beringsut mundur. Batu sudah dilempar. Giliran tangan yang sembunyi.Samar-samar terdengar suara Pen-Pen yang sibuk menginterogasi semua penghuni ruangan. Semenit. Dua menit. Kayaknya sih nggak ada yang ngaku soalnya dia masih nyerocos.
Ini saatnya untuk kabur. Gue dengan lihai keluar ruangan fotografi, terus langsung belok dan jalan cepat ke kubikel gue. Keributan di ruangan Gagas, I don’t wanna know.
Ternyata berita Pen-Pen ditimpuk tissue basah merebak cepat (iya lah, secara tuh anak bawel). Lagi-lagi setan yang dituduh pelakunya. Sekarang lantai atas riuh rendah dengan gosip. Sebagian dengan bijak menganjurkan agar mawas diri. Lainnya mendengar sambil ketakutan. Lalu terungkitlah cerita menyeramkan lainnya yang pernah terjadi di kantor tercinta ini.
Hanya ada satu orang yang terus bekerja. Seakan tidak terpengaruh oleh kehebohan di sekelilingnya. Tapi, bagaimana mungkin mo konsen kerja kalo sambil nahan tawa. Wakakakakak......
Siangnya, gue samperin Pen-Pen. Dia langsung curhat betapa seramnya ruangan Gagas. Betapa dia ingin dipindahin aja ke ruangan lain. Ekspresinya hampir nyaingin Sarah Michelle Gellar di Scream. Badannya mengkeret.
Gue jadi nggak tega. Akhirnya gue berlutut di hadapannya. Terus bilang “Maaf ya, Pen.” Dasar editor yang quick thinking, dia langsung nuduh gue yang nimpuk dia tadi pagi. Gue tersenyum paling maniez, dan ngaku. Pen-Pen memandang gue. Dan dari tatapan matanya, gue tau dia mo maafin.
So, that’s all my confession. Yang masih bergelayut di pikiran gue, sampai kapan Pen-Pen akan mengalami tragedi ini :)
I’m sorry, Sis....
Subscribe to:
Posts (Atom)